Capaian Pembelajaran
Setelah
mempelajari kegiatan belajar ini, ibu bapak diharapkan dapat menjelaskan
pembelajaran abad 21, karakteristik guru abad 21, dan karakteristik siswa abad
21.
Pokok-Pokok Materi
A. Pembelajaran Abad 21
B. Karakteristik guru abad 21
C. Karakteristik siswa abad 21
Uraian Materi
A. Pembelajaran Abad 21
Dalam pandangan paradigma positivistik masyarakat
berkembang secara linier seiring dengan perkembangan peradaban manusia itu
sendiri yang ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Secara
berturut-turut masyarakat berkembang dari masyarakat primitif, masyarakat
agraris, masyarakat industri, dan kemudian pada perkembangan lanjut menjadi
masyarakat informasi. Situasi abad 21 sering kali diidentikan dengan masyarakat
informasi tersebut, yang ditandai oleh munculnya fenomena masyarakat digital.
Meneruskan perkembangan masyarakat industri generasi pertama, sekarang ini,
abad 21 dan masa mendatang, muncul apa yang disebut sebagai revolusi industri
4.0.
Istilah industri 4.0 pertama kali diperkenalkan pada
Hannover Fair 2011 yang ditandai revolusi digital. Revolusi industri gelombang
keempat, yang juga disebut industri 4.0, kini telah tiba. Industry 4.0 adalah tren
terbaru teknologi yang sedemikian rupa canggihnya, yang berpengaruh besar
terhadap proses produksi pada sektor manufaktur. Teknologi canggih tersebut
termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligent), perdagangan elektronik,
data raksasa, teknologi finansial, ekonomi berbagi, hingga penggunaan robot.
Bob Gordon dari Universitas Northwestern, seperti dikutip Paul Krugman (2013),
mencatat, sebelumnya telah terjadi tiga revolusi industri. Pertama,
ditemukannya mesin uap dan kereta api (1750-1830). Kedua, penemuan listrik,
alat komunikasi, kimia, dan minyak (1870- 1900). Ketiga, penemuan komputer,
internet, dan telepon genggam (1960-sampai sekarang). Versi lain menyatakan,
revolusi ketiga dimulai pada 1969 melalui kemunculan teknologi informasi dan
komunikasi, serta mesin otomasi (dikutip dari A. Tony Prasentiantono, Kompas 10
April 2018, hal. 1).
Indonesia yang merupakan bagian dari masyarakat global,
juga berkembang sebagaimana alur linieristik tersebut, setidaknya dari sudut
pandang pemerintah sejak era Orde Baru. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi
masyarakat Indonesia tidak sama dengan perkembangan pada masyarakat Barat yang
pernah mengalami era pencerahan dan masyarakat industri. Perkembangan
masyarakat Indonesia faktanya tidak secara linier, tetapi lebih berlangsung
secara pararel. Artinya, ada masyarakat yang hingga fase perkembangannya
sekarang masih menunjukkan masyarakat primitif, ada yang masih agraris, ada
yang sudah menunjukkan karakter sebagai masyarakat industrial, dan bahkan ada
yang memang sudah masuk dalam era digital. Semuanya kategori karakter
masyarakat tersebut faktanya berkembang tidak secara linier, tetapi berlangsung
secara pararel.
Oleh karena itu, meskipun era digital sudah begitu marak
yang ditandai oleh makin luasnya jangkauan internet; namun demikian ada juga
masyarakat yang masih belum terjangkau internet, dan bahkan masih berupa
wilayah blank spot. Kondisi seperti itu juga berimplikasi terhadap perkembangan
pelayanan pendidikan, sehingga juga berkonsekuensi terhadap karaktiristik guru
dan siswanya, meskipun sudah berada dalam abad 21. Sekolah, guru, dan siswa di
daerah perkotaan memang sudah terkoneksi jaringan internet, tetapi untuk daerah
pedesaan masih ada juga yang belum terambah oleh fasilitas internet, dan bahkan
ada pula wilayah yang sama sekali belum terjangkau infrastruktur
telekomunikasi. Akan tetapi pada abad 21 sekarang ini masyarakat Indonesia
memang sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dengan era digital. Karena itu
apa pun harus menyesuaikan dengan kehadiran era baru berbasis digital, sehingga
bagaimana menjadi bagian dari era digital sekarang ini dengan memanfaatkan
teknologi digital dan berjejaring ini secara produktif.
Menurut Manuel Castell kemunculan masyarakat informasional
itu ditandai dengan lima karateristik dasar: Pertama,
ada teknologi-teknologi yang bertindak
berdasarkan informasi. Kedua, karena informasi adalah bagian dari seluruh kegiatan
manusia, teknologi-teknologi itu mempunyai efek yang meresap. Ketiga, semua sistem
yang menggunakan teknologi informasi didefinisikan oleh ‘logika jaringan’ yang
memungkinkan mereka memengaruhi suatu varietas luas proses-proses dan
organisasi-organisasi. Keempat, teknologi-teknologi baru sangat fleksibel, memungkinkan
mereka beradaptasi dan berubah secara terus-menerus. Akhirnya,
teknologi-teknologi spesifik yang diasosiasikan dengan informasi sedang
bergabung menjadi suatu sistem yang sangat terintegrasi (dalam Ritzer, 2012:
969).
Menurut Castell sebenarnya sudah sejak dekade 1980-an
muncul apa yang ia sebut sebagai ekonomi informasional global baru yang semakin
menguntungkan. “Ia informasional karena produktivitas dan daya saing unit-unit
atau agen-agen di dalam ekonomi ini (entah itu firma-firma, region-region, atau
wilayah-wilayah) yang tergantung secara fundamental pada kapsitas mereka untuk
menghasilkan, memproses, dan menerapkan secara efisien informasi berbasis
pengetahuan (Castell, 1996: 66). Ia global karena ia mempunyai “kapasitas untuk
bekerja sebagai suatu unit di dalam waktu nyata pada suatu skala planeter”
(Castell, 1996: 92). Hal itu dimungkinkan untuk pertama kalinya oleh kehadiran
teknologi informasi dan komunikasi yang baru.
Meneruskan konsep ruang mengalir itu, kemudian Scott Lash
menganalisis kemunculan masyarakat informasional itu secara lebih mendalam,
detail, dan canggih. Sama seperti Castells, Lash setuju dengan kemunculan dunia
baru, yaitu masyarakat informasional yang meskipun merupakan kelanjutan dari
kapitalisme lama, tetapi memiliki berbagai karakter yang berbeda. Dengan
pendekatan kritis, Lash menganalisis kapitalisme informasional dengan berusaha
memperluasnya terkait dengan filsafat, teori sosiologi, teori kebudayaan, baik
klasik maupun kontemporer.
Dalam bukunya Critique of Information (2002), Lash
memului dengan sejumlah pertanyaan mendasar, bagaimana ilmu sosial kritis,
teori kritik atau kritik dapat dimungkinkan dalam masyarakat informasi? Apa
yang terjadi dalam suatu era ketika kekuasaan tidak lagi sebuah ideologi
sebagaimana era abad sembilanbelas, tetapi sekarang kekuasaan adalah sebuah
informasional dalam arti luas? Ketika era sebelumnya ideologi diperluas oleh
ruang dan waktu, mengklaim universalitas, dan berbentuk ‘metanaratif’,
merupakan sistem kepercayaan, dan menyediakan waktu untuk refleksi; tetapi
sekarang era informasional, ketika informasi itu berada dalam kemampatan ruang
dan waktu, tidak mengklaim universal, dan sekadar titik, sinyal, dan bahkan
sekadar peristiwa dalam waktu. Berlangsung sangat cepat, sekilas, hidup dalam
era informasi hampir tidak ada waktu untuk refleksi. Jadi ketika ilmu sosial
kritik hidup dan berkembang dalam era ideologi kritik, apa yang terjadi ketika
ilmu sosial kritik hidup dalam era informasinal kritik? Dapatkah pemikiran
kritis beroperasi dalam era informasi?
Meskipun Lash adakalanya merujuk pada Castells, tetapi
dalam mendefinisikan informasi sedikit berbeda. Ia mengaku: “saya akan memahami
masyarakat informasi berbeda dengan apa yang dirumuskan oleh Bell (1973),
Touraine (1974), dan Castells (1996) yang fokus pada kualitas karakter utama
informasi itu sendiri. Tetapi Menurut Lash informasi harus dipahami secara
tajam dalam kontradiksinya dengan yang lain, kategori sosiokultural awal, yaitu
sebagai monumen naratif dan wacana (discourse) atau institusi. Karakter
utama informasi adalah aliran, tak melekat, kemampatan spasial, kemampatan
temporal, hubunganhubungan real-time. Informasi tidaklah secara eksklusif,
tetapi sebagian besar, dalam kaitan ini bahwa kita hidup dalam era informasi.
Sebagian orang menyebut kita hidup dalam jaman modern lanjut (Giddens, 1990),
sementara yang lain menyebutnya sebagai jaman postmodern (Harvey, 1989), tetapi
konsep tersebut menurut Lash juga tidak berbentuk. Informasi tidak.
Lash memahami masyarakat informasi berbeda dengan apa yang
sering dirumuskan oleh kalangan sosiolog. Masyarakat informasi sering dipahami
dalam istilah produksi pengetahuan-intensif dan postindustrial di mana barang
dan layanan diproduksi. Kunci untuk memahami ini adalah apa yang diproduksi
dalam produksi informasi bukanlah barang-barang dan layanan kekayaan informasi,
tetapi lebih kurang adalah potongan informasi di luar kontrol. Produksi
informasi meliputi terutama adalah pentinggnya kemampatan. Sebagaimana diktum
McLuhan medium adalah pesan dalam pengertian bahwa media adalah peradigma
medium era informasi. Hanya saja jika dahulu medium dominan adalah naratif,
lirik puisi, wacana, dan lukisan. Tetapi sekarang pesan itu adalah pesan atau
‘komunikasi.’ media sekarang lebih seperti potongan-potongan. Media telah
dimampatkan.
Lash mengingatkan bahwa infomasi itu sendiri bersifat
statis, komunikasiah yang membuat informasi menjadi dinamik, kuat, dan sumber
energi. Mirip dengan Habermas, Lash yakin bahwa komunikasi itulah yang sekarang
telah menjadi basis kehidupan sosial kontemporer, karena itu ia menjadikan
komunikasi sebagai unit dasar analisisnya, dan bukan informasi. Lash kemudian
melangkah lebih jauh dengan mengembangkan konsep di seputar isu perkembangan
ICT. Ketika ICT itu sendiri sering diposisikan sebagai entitas tersendiri yang
berbeda dengan karakterkarakter masyarakat sebelumnya dengan titik berat pada
produksi industrial, maka Lash menjelaskan bahwa dalam kategori era ICT itu
sendiri telah berkembang dengan karakter yang berbeda. Oleh karena itu ia
mengatakan bahwa telah terjadi dua generasi dalam perkembangan ICT.
Generasi pertama perkembangan ICT secara fundamental adalah
informasional, dengan sektor kuncinya adalah semikonduktor, sofware (sistem
operasi dan aplikasi), dan komputer. Akan tetapi generasi kedua, ekonomi baru
adalah komunikasional, karena itu sentralitasnya adalah internet dan sektor
jaringan. Itulah sebabnya menurut Lash, Cisco Systems, yang membuat sarana
jalan, sebagai ‘pipa’ komunikasi internet, yang menjadi kapitalisme pasar lebih
tinggi daripada ‘informational’ Microsoft. Inilah yang dikenal sebagai
pasangnya media baru (new
media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah sepenting kode, bukan berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi pertama sangat erat berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT generasi kedua bukan perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan, tetapi berurusan dengan kotor, urban ‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru seperti CD-ROMs, permainan komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah multimedia konvergensi teknologi informasi dengan media.
media). Dalam pada itu konten dan komunikasi adalah sepenting kode, bukan berbasis pada sektor kode informasi. Jika ICT generasi pertama sangat erat berurusan dengan Lembah Silokan California, maka ICT generasi kedua bukan perkara segar, bersih, dan semi desa Lembah Silokan, tetapi berurusan dengan kotor, urban ‘silicon allys’. Silicon allys telah menjadi multimedia baru seperti CD-ROMs, permainan komputer (Allen, Scott, 2000). Mereka adalah multimedia konvergensi teknologi informasi dengan media.
Sikap Lash terhadap topik diskusi tersebut tetap menegaskan
bahwa unit dasar analisisnya adalah kmunikasi. Komunikasi adalah pertanyaan
soal kultur jarak jauh. Dalam masyarakat industri dulu hubungan-hubungan sosial
diletakan pada suatu tempat dengan prinsip kedekatan, dan hubungan sosial pada
saat yang sama sekaligus adalah ikatan sosial. Akan tetapi sekarang, dalam era
informasional, hubungan sosial dipindahkan oleh komunikasi. Komunikasi adalah
intens, dalam durasi pendek. Komunikasi memecah naratif menjadi pesan
pendek/ringkas. Jika hubungan sosial lama menempatkan tempat dengan prinsip
kedekatan, ikatan komunikasional adalah meletakan tempat pada jarak jauh. Jadi,
komunikasi adalah tentang kebudayaan, bukan kedekatan, yaitu kebudayaan jarak
jauh. Culture at-adistance meliputi baik komunikasi yang datang dari
jauh maupun orang datang dari jauh agar bertemu secara tatap muka (Boden and
Molotch, 1994). Intensitas, keringkasan, dan ketidakhadiran kontinyuitas naratif
adalah prinsip tata kelolanya (Simmel, 1971; Sennett, 1998).
Suatu komunikasi dan aliran diletakan pada panggung pusat,
daripada aturan sosial dan lembaga/struktur. Sosiologi berargumen lebih
progresif lagi, yaitu bahwa sekarang ini secara umum telah muncul fenomena mediologi.
Oleh karena itu sekarang ini diberbagai universitas terkemuka di dunia telah
mengenalkan dan mengajarkan tentang sosiologi media. Khususnya sekarang ini
telah muncul apa yang dikenal sebagai logika mediologi. Mediologi akan mengharuskan
bekerja dengan logika media dan komunikasi. Jika sosiologi Durkheimian
mengenalkan konsep anomie, untuk menjelaskan perubahan dari feodalisme ke
kapitalisme pabrik, sekarang mediologi, berbicara anomie postindustri
aliran-aliran. Sosiologi setuju dengan re-teritorialisasi sosial, institusi
modern, dan struktur masyarakat industri. Mediologi berbicara
re-teritorialisasi masyarakat jaringan yang datang dari pengerasan
aliran-aliran. Maka pada saat yang sama sekarang muncul fenomena ekonomi tanda
dan ruang.
Begitulah, menurut Lash, dalam masyarakat kapitalisme
lanjut, komunikasi adalah kunci, pergeseran dari logika struktur ke logika arus
yang dimungkinkan oleh jangkauan hubungan yang dibawa oleh outsorcing pada
umumnya. Dan outsorcing ini adalah re-teritorialisasi, misalnya
perusahaan-perusahaan menjadi lebih bisa dikerjakan di rumah tangga. Bahkan
kemudian ada perusahaan membolehkan kerja lembur per minggu di rumah, jadi
tidak tergantung pada tempat atau ruang pabrik. Jadi sekarang ini di jaman tata
informasi dan komunikasi global, semuanya serba outsorcing baik kerja di
perusahaan firma, keluarga, negara, dan bahkan juga pada bidang seni. Karena
itu bisa juga refleksivitas di outsourced, dan di eksternalisasi. Sekarang ini
juga ada pergeseran dari akumulasi ke sirkulasi. Namun demikian juga muncul apa
yang disebut sebagai hegemoni sirkulasi di mana sirkulasi modal uang dipisahkan
dari bagian akumulasi modal.
1. Masyarakat Informasional di Indonesia
Pada fase masyarakat industrial fokus utama adalah bagaimana
masyarakat dengan segenap penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi berusaha
mengolah bahan baku yang disediakan oleh alam menjadi komoditas yang berpotensi
meningkatkan kualitas hidup. Akan tetapi sekarang ini, ketika memasuki era
masyarakat informasional, bukan lagi perkara bagaimana berproduksi untuk
akumulasi kapital, akan tetapi bagaimana penguasaan dan kemampuan mengolah
informasi sebagai sumber daya utama untuk meningkatkan kualitas hidup.
Sekarang ini banyak yang sepakat bahwa masyarakat Indonesia
mengalami transisi dari masyarakat offline menuju masyarakat online. Ini
mengindikasikan bahwa masyarakat informasional dan komunikasional juga telah
hadir yang siapa pun tidak bisa menolaknya. Dengan kata lain, kehadiran
masyarakat informasional ini sudah merupakan imperatif, atau sebuah
keniscayaan. Hampir seluruh aspek kehidupan dalam bermasyarakat mulai dari
aspek ekonomi, politik, kebudayan, dan sosial-budaya terambah oleh moda-moda
informasional dan komunikasional. Sekarang ini informasi tidak lagi mewujud
dalam bentuk pengetahuan yang terdokumentasi secara padat seperti barang-barang
cetakan, tetapi telah berubah menjadi serba digital. Proses digitalisasi
terjadi dalam berbagai aspek kehidupan manusia yang tentu saja berimplikasi
terhadap perubahan nilai, cara pandang, dan pola-pola perilaku masyarakat.
Dari data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII), penetrasi internet di Indonesia mencapai 132,5 juta orang pada 2016,
tumbuh pesat dari 2015 yang baru 88,1 juta orang. Hal itu tidak lepas dari
kerja keras para operator telekomunikasi yang memperluas jangkauan layanan
mereka. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan regulasi yang
mendukung (Kompas, 20 Maret 2017, hal. 12). Akan tetapi seiring dengan
gegap-gempita tumbuhnya masyarakat jaringan ini, juga menyodorkan persoalan
sosio-kultural seperti kesenjangan digital. Dalam insitusi keluarga pun juga
menyodorkan persoalan kesenjangan antara generasi para orangtua yang masih
disebut sebagai digital immigrant dan generasi anak-cucunya yang disebut
sebagai generasi digital native.
Di Indonesia, target menjadi masyarakat informasi diarahkan
pada ukuran terhubungnya seluruh desa dalam jaringan teknologi komunikasi dan
informasi pada tahun 2015. Determinasi teknologi ini harus diwujudkan dalam
determinasi sosial, dimana masyarakat harus berdaya terhadap informasi. Konsep
masyarakat informasi tidak lagi mengarah seperti era media yang telah muncul
pada era industrial atau sering disebut the first media age dimana
informasi diproduksi terpusat (satu untuk banyak khalayak), arah komunikasi
satu arah; Negara mengontrol terhadap semua informasi yang beredar; reproduksi
stratifikasi sosial dan ketidakadilan melalui media; dan khalayak informasi
yang terfragmentasi. Akan tetapi masyarakat informasi yang berada pada the
second media age yang memiliki karakter informasi desentralistik;
komunikasi dua arah; kontrol Negara yang distributif; demokratisasi informasi;
kesadaran individual yang mengutama; dan adanya orientasi individual.
Luapan konten informasi dan teknologi yang memungkinkan
untuk user
generated sebagaimana karakter media baru seperti munculnya blogs, website,
citizen journalism, atau pun digitalisasi yang memungkinkan semakin banyaknya jumlah siaran televisi, radio, webcast, dan juga semakin mudahnya menerima terpaan informasi dimana saja, menjadikan masyarakat memiliki kesempatan yang sangat besar menjadi konsumen informasi. Era informasi seharusnya menjadikan masyarakat menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen informasi.
generated sebagaimana karakter media baru seperti munculnya blogs, website,
citizen journalism, atau pun digitalisasi yang memungkinkan semakin banyaknya jumlah siaran televisi, radio, webcast, dan juga semakin mudahnya menerima terpaan informasi dimana saja, menjadikan masyarakat memiliki kesempatan yang sangat besar menjadi konsumen informasi. Era informasi seharusnya menjadikan masyarakat menjadi prosumen, produsen sekaligus konsumen informasi.
Ciri utama masyarakat informasi adalah bahwa semua
aktivitas masyarakatnya berbasis pada pengetahuan. Oleh karena itu, dalam dunia
di mana informasi dan pengetahuan terus beredar, pemerintah bercita-cita untuk
membangun negara sebagai masyarakat yang berpengetahuan. Akan tetapi justru di
sinilah kemudian menimbulkan masalah, sebab perkembangan masyarakat di
Indonesia tidak linier dan homogen. Ada sebagaian masyarakat yang sudah berada
dalam tahap siap memasuki masyarakat informasi karena telah mempunyai basis pengetahuan
kuat dan menggunakannya sebagai dasar utama bagi aktivitasnya. Sementara banyak
juga warga masyarakat yang berakar kuat pada kultur agraris, tradisional, penuh
mistik, dan pandangan dunianya kurang mampu cepat beradaptasi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akibatnya ketika pemerintah
membangun infrastruktur ICT secara signifikan, sebagian besar warga masyarakat
kurang mampu memanfaatkan ICT untuk kepentingan yang produktif, karena
rendahnya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan.
2. Implikasinya terhadap Pendidikan
Perubahan peradapan menuju masyarakat berpengetahuan (knowledge
society). menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills). Pendidikan memegang peranan sangat penting dan strategis dalam membangun masyarakat berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy ini dalam masyarakt kita masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat informasi. Rendahnya tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan menjadi faktor signifikan terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di Indonesia.
society). menuntut masyarakat dunia untuk menguasai keterampilan abad 21 yaitu mampu memahami dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT Literacy Skills). Pendidikan memegang peranan sangat penting dan strategis dalam membangun masyarakat berpengetahuan yang memiliki keterampilan: (1) melek teknologi dan media; (2) melakukan komunikasi efektif; (3) berpikir kritis; (4) memecahkan masalah; dan (5) berkolaborasi. Akan tetapi persoalan ICT Literacy ini dalam masyarakt kita masih masalah mendasar bagi upaya menuju masyarakat informasi. Rendahnya tingkat ICT Literacy, terutama pada masyarakat pedesaan menjadi faktor signifikan terhadap menetapnya fenomena kesenjangan informasi di Indonesia.
Mark Poster pada awal dekade sembilanpuluhan telah
mempublikasikan buku The Second Media Age, yang mengakabarkan datangnya periode
baru yaitu hadirnya teknologi interaktif dan komunikasi jaringan, terutama
sejak hadirnya internet, yang akan mengubah masyarakat. Jadi sudah sejak awal,
para akademisi telah memprediksi bahwa kehadiran Internet akan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap perubahan social. World Wide Web (www) adalah
dunia yang terbuka, fleksibel, dan merupakan lingkungan informasi yang dinamik,
yang membuat keberadaan manusia mampu mengembangkan orientasi baru terhadap
ilmu pengetahuan, dan mendorong lebih banyak berinteraksi, community-base,
dunia demokrasi yang saling memberdayakan. Internet mengembangkan tempat untuk
bertemu secara virtual yang memperluas jaringan social ke seluruh dunia,
menciptakan kemungkinan baru untuk pengetahuan, dan memberi peluang untuk
berbagi perspektif secara lebih luas.
Merespons perkembangan baru, yaitu era masyararakat
informasional dan komunikasional yang ditandai oleh kehadiran media baru,
pemerintah dalam pembangunan sektor pendidikan mengeluarkan kebijakan. Beberapa
kebijakan Kementerian Pendidikan Indonesia yang berisi pemanfaatan ICT dalam
pembelajaran sudah cukup lama hingga sekarang, termasuk penerapan Kurikulum
2013 juga mendorong proses pembelajaran berbasis ICT, sehingga penetrasi media
baru (new media) dalam dunia pendidikan semakin intensif dan ekstensif.
Terdapat kesepakatan umum bahwa Information and Communication Technologies
(ICT) adalah baik untuk pengembangan dunia pendidikan. Bank Dunia
mengarisbawahi bahwa para pendidik dan para pengambil keputusan sepakat bahwa
ICT merupakan hal yang sangat penting bagi pengembangan masa depan pendidikan
dalam era Melinium. Teknologi ini, khususnya internet yang mampu membangun
kemampuan jaringan informasi dapat meningkatkan akses melalui belajar jarak
jauh, membuka jaringan pengetahuan bagi murid, melatih guru-guru,
menyebarluaskan materi pendidikan dengan kualitas standar, dan mendorong
penguatan upaya efisiensi dan efektivitas kebijakan administrasi pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan pemanfaatan TIK dalam pendidikan
melalui Pendidikan Jarak Jauh bahwa “(1) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan
pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, (2) Pendidikan jarak jauh
berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak
dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler, (3) Pendidikan jarak
jauh diselenggarakan dalam bentuk, modus dan cakupan yang didukung oleh sarana
dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai
dengan standar nasional pendidikan. Jadi sistem pendidikan jarak jauh telah
menjadi suatu inovasi yang berarti dalam dunia pendidikan nasional. Sistem
pendidikan jarak jauh yang dimulai dengan generasi pertama korespondensi
(cetak), generasi kedua multimedia (Audio, VCD, DVD), generasi ketiga
pembelajaran jarak jauh (telekonferensi/TVe), generasi keempat pembelajaran
fleksibel (multimedia interaktif) dan generasi kelima e-Learning (web based
course), akhirnya generasi keenam pembelajaran mobile (koneksi nirkabel/www).
Seperti tercantum secara eksplisit dalam Rencana Strategis Departemen
Pendidikan Nasional 2005 – 2009, terlihat jelas bahwa TIK memainkan peran
penting dalam menunjang tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, yaitu:(1)
perluasan dan pemerataan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing;
dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, untuk
mewujudkan pendidikan yang bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau
rakyat banyak. Dalam Renstra Depdiknas 2005 – 2009 dinyatakan peran strategis
TIK untuk pilar pertama, yaitu perluasan dan pemerataan akses pendidikan,
diprioritaskan sebagai media pembelajaran jarak jauh. Sedangkan
untuk pilar kedua, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, peran TIK
diprioritaskan untuk penerapan dalam pendidikan/proses pembelajaran. Terakhir, untuk penguatan tata kelola,
akuntabilitas dan citra publik, peran TIK diprioritaskan untuk sistem
informasi manajemen secara terintegrasi. (Dikutip dari Adie E. Yusuf,
Pemanfaatan ICT dalam Pendidikan: Kebijakan dan Standarisasi Mutu, diunduh dari https://teknologikinerja.wordpress.com/2010/03/11/).
Perubahan era yang kemudian mengubah karakter masyarakat
secara bertahap, menghadirkan realitas baru seperti masyarakat informasional
dan komunikasional juga berimplikasi terhadap perkembangan media, yang kemudian
dikenal sebagai media baru. Media baru yang berbasis internet dan web ini
beroperasi secara masif, ekstensif, dan intensif merasuk ke berbagai sektor
kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena itu dapat dipahami jika pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian menstransformasikan diri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan berbasis TIK tersebut. Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti kehadiran media baru ini.
kehidupan, tidak terkecuali sektor pendidikan. Oleh karena itu dapat dipahami jika pemerintah Indonesia mengantisipasi dan kemudian menstransformasikan diri dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan berbasis TIK tersebut. Berbagai regulasi juga terus diciptakan guna mengikuti kehadiran media baru ini.
Dengan hadirnya ICT dunia pendidikan bisa membawa dampak
positif apabila teknologi tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran, tetapi bisa menjadi masalah baru apabila lembaga pendidikan tidak
siap. Untuk itu, perlu dilakukan suatu kajian tentang dampak positif dan
negatif dari pemanfaatan Teknologi Komunikasi dan Informasi (ICT) sebagai media
komunikasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hasil penelitian Kurniawati
et,al (2005) menunjukan bahwa pada umumnya pendapat guru dan siswa tentang
manfaat ICT khususnya edukasi net antara lain : (1) Memudahkan guru dan siswa
dalam mencari sumber belajar alternative; (2 ) Bagi siswa dapat memperjelas
materi yang telah disampaikan oleh guru, karena disamping disertai gambar juga
ada animasi menarik; (3) Cara belajar lebih efisien; (4) Wawasan bertambah; (5)
Mengetahui dan mengikuti perkembangan materi dan info-info lain yang
berhubungan dengan bidang studi; dan (5) Membantu siswa melek ICT (Pujiriyanto,
2012).
Atas perubahan tersebut, maka dalam proses pembelajaran
juga sangat intensif terekspose (terpaan) oleh kehadiran media baru, dan ini
menyodorkan fenomena tentang mediatisasi pembelajaran. Masif, ekstensif, dan
intensifnya media baru dalam proses pembelajaran ini akhirnya juga mengubah moda-moda
belajar yang bergantung pada media. Fenomena baru inilah yang kemudian dikenal
sebagai mediatisasi pembelajaran, di mana media tampil begitu kuat dan
menentukan, dan akhirnya aktivitas pembelajaran bukan sekadar memanfaatkan
media akan tetapi lebih dari itu mengikuti logika media.
Kuatnya logika media itu kemudian membawa konsekuensi
terhadap perubahan pola dan moda belajar pada lembaga strategis seperti
sekolah. Misalnya, hubungan guru dan murid dan aktivitas belajarnya tidak lagi
bergantung pada satu sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekolah, akan
tetapi juga mau tidak mau harus menerima kehadiran media baru berbasis internet
dan web ini sebagai sumber belajar. Karakter media baru sebagai penyedia konten
(isi) begitu besar dan bahkan tidak terbatas jauh melebihi gudang pengetahuan
yang disediakan pada lingkungan sekolah. Aksesnya pun terbuka lebar karena tata
kelola informasinya sangat canggih dan sangat mudah dan cepat diakses oleh
siswa dalam aktivitas belajar. Sekarang ini pokok-pokok bahasan yang diajarkan
guru pada ruang kelas, akan dengan mudah dikonfirmasikan melalui google atau
pun yahoo yang begitu banyak dan mudah menyediakan informasi pengetahuan
yang relevan dengan pembelajaran di sekolah. Lebih dari itu, media baru juga
menyediakan aplikasi pembelajaran secara virtual yang mirip dengan pembelajaran
di ruang kelas pada setiap sekolah.
Akan tetapi, kehadiran media baru ini juga menghadirkan
berbagai persoalan yang berkait dengan perilaku belajar siswa dan sikap guru
terhadap maraknya pembelajaran digital ini. Sebut saja misalnya tentang sikap
minimalis dan pragmatisme belajar siswa yang sangat fenomenal seperti
ketergantungan pada google atau yahoo setiap kali menghadapi
masalah atau pun penugasan dalam pembelajaran di kelas. Sikap guru pun masih
variatif dalam menghadapi hadirnya media baru dan mediatisasi pembelajaran ini
karena terkait kesenjangan keterampilan dan pengetahuan tentang media baru,
yang masuk dalam generasi digital imigrant yang harus menghadapi murid
yang masuk dalam kategori digital native.
B. Karakteristik Guru Abad 21
Perubahan karakter masyarakat secara fundamental
sebagaimana terjadi dalam abad 21 tentu berimplikasi terhadap karakteristik
guru. Dalam pandangan progresif, perubahan karakteristik masyarakat perlu
diikuti oleh transformasi kultur guru dalam proses pembelajaran. Jadi jika
sekarang masyarakat telah berubah ke masyarakat digital, maka guru juga segera
perlu mentransformasikan diri, baik secara teknik maupun sosio-kultural. Oleh
karena itu perlu mengidentifikasi, karakteristik guru seperti apa yang mampu
mentransformasikan diri pada era digital pada abad 21 sekarang ini.
Terdapat ungkapan bahwa, buku bisa digantikan dengan
teknologi, tetapi peran guru tidak bisa digantikan, bahkan harus diperkuat.
Pada era sekarang, abad 21, guru harus mampu memanfaatkan teknologi digital
untuk mendesain pembelajaran yang kreatif. Kemampuan para guru untuk mendidik
pada era pembelajaran digital perlu dipersiapkan dengan memperkuat pedagogi
siber pada diri guru. Guru yang lebih banyak berperan sebagai fasilitator harus
mampu memanfaatkan teknologi digital yang ada untuk mendesain pembelajaran
kreatif yang memampukan siswa aktif dan berpikir kritis (Kompas, 9 April 2018,
hal. 12).
Menurut Ketua Divisi Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI) Smart Learning Center, Richardus Eko Indrajit mengatakan, guru harus mulai
dibiasakan untuk merasakan pembelajaran digital yang terus berkembang. Sebab,
penggunaan teknologi dalam pembelajaran berguna untuk memfasilitasi
pembelajaran yang berkualitas. Buku bisa digantikan dengan teknologi. Konten
pembelajaran sudah tersedia di internet. Namun, tetap ada peran guru yang tidak
bisa digantikan. Di sinilah kita harus memperkuat guru sebagai fasilitator yang
membantu siswa untuk dapat memanfaatkan sumber belajar yang beragam. Oleh
karena itu karakteristik guru dalam abad 21 antara lain: Pertama, guru
disamping sebagai fasilitator, juga harus menjadi motivator dan inspirator.
Lebih lanjut Eko Indrajit mengatakan, pada era sekarang,
siswa sudah banyak mengetahui pembelajaran lewat internet terlebih dahulu, baru
sekolah. Jangan sampai guru gagap menghadapi kondisi siswa yang lebih banyak
tahu konten pembelajaran yang didapat dari internet. Oleh karena itu kemampuan
guru sebagai fasilitator harus diperkuat. Guru dapat mengarahkan pembelajaran
lebih banyak pada diskusi, memecahkan masalah, hingga melakukan proyek yang
merangsang siswa berpikir kritis (Kompas, 9 April, 2018, hal. 12).
Kemampuan guru dalam posisi sebagai fasilitator, ini
berarti harus mengubah cara berpikir bahwa guru adalah pusat (teacher center)
menjadi siswa adalah pusat (student center) sebagaimana dituntut dalam
kurikulum 13. Ini berarti guru perlu memposisikan diri sebagai mitra belajar
bagi siswa, sehingga guru bukan serba tahu karena sumber belajar dalam era
digital sudah banyak dan tersebar, serta mudah diakses oleh siswa melalui
jaringan internet yang terkoneksi pada gawai. Ini memang tidak mudah, karena
berkait dengan transformasi kultural baik yang masih berkembang dalam guru
maupun siswa itu sendiri, dan bahkan masyarakat.
Kedua, salah satu
prasyarat paling penting agar guru mampu mentrasformasikan diri dalam era
pedagogi siber atau era digital, adalah tingginya minat baca. Selama ini
berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa minat baca di kalangan guru di
Indonesia masih rendah, dan bahkan kurang memiliki motivasi membeli atau
mengoleksi buku. Tingkat kepemilikan buku di kalangan guru di Indonesia masih
rendah. Bahkan sering terdengar pemeo bahwa penambahan penghasilan melalui
program sertifikasi guru, tidak untuk meningkatkan profesionalisme guru, tetapi
hanya untuk gaya hidup konsumtif. Sudah sering terdengar bahwa, tambahan
penghasilan gaji guru melalui program sertifikasi bukan untuk membeli buku,
tetapi untuk kredit mobil.
Karakteristik seperti itu, adalah tidak cocok bagi
pengembangan profesionalisme guru pada abad 21. Oleh karena itu, guru harus
terus meningkatkan minat baca dengan menambah koleksi buku. Setiap kali
terdapat masalah pembelajaran, maka guru perlu menambah pengetahuan melalui
bacaan buku, baik cetak maupun digital yang bisa diakses melalui internet.
Tanpa minat baca tinggi, maka guru pada era pedagogi siber sekarang ini akan
ketinggalan dengan pengetahuan siswanya, sehingga akan menurunkan kredibilitas atau
kewibawaan guru. Hilangnya kewibawaan guru akan berdampak serius bukan saja
pada menurunya kualitas pembelajaran, tetapi juga bagi kemajuan sebuah bangsa.
Ketiga, guru pada
abad 21 harus memiliki kemampuan untuk menulis. Mempunyai minat baca tinggi
saja belum cukup bagi guru, tetapi harus memiliki keterampilan untuk menulis.
Guru juga dituntut untuk bisa menuangkan gagasan-gagasan inovatifnya dalam
bentuk buku atau karya ilmiah. Tanpa kemampuan menulis guru akan kesulitan
dalam upaya meningkatkan kredibilitasnya di hadapan murid. Guru yang memiliki
kompetensi dalam menulis gagasan, atau menulis buku dan karya almiah, maka akan
semakin disegani oleh siswanya. Sebaliknya, jika guru tidak pernah menulis,
maka akan semakin dilecehkan oleh siswa.
Oleh karena itu, jika sudah memiliki kemampuan untuk
menulis gagasan, maka ketika terlibat dalam era digital bukan saja sebagai
konsumen pengetahuan, tetapi juga produsen pengetahuan. Dengan kata lain, guru
dalam era informasi sekarang ini, ketika terlibat dalam internet, bukan sekadar
mengunduh, tetapi juga mengunggah karya-karya tulisnya yang bisa memberikan
sumbangan pemikiran bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran.
Keempat, guru abad
21 harus kreatif dan inovatif dalam mengembangkan metode belajar atau mencari pemecahan
masalah-masalah belajar, sehingga meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis
TIK. Penguasaan terhadap e-learning bagi seorang guru abad 21 adalah sebuah
keniscayaan atau keharusan, jika ingin tetap dianggap berwibawa di hadapan
murid. Guru yang kehilangan kewibawaan di mata siswa adalah sebuah bencana,
bukan saja bagi guru itu sendiri tetapi bagi sebuah bangsa karena kunci
kemajuan bangsa adalah guru. Oleh karena itu kompetensi mengajar berbasis TIK
adalah mutlak bagi guru pada abad 21. Jadi seorang guru harus mampu menerapkan
model pembelajaran misalnya yang menggunakan pola hibrida (hybrid learning),
karena proses pembelajaran dalam abad 21 tidak hanya secara konvensional dengan
tatap muka di kelas, tetapi juga secara online melalui situs pembelajarannya.
Jadi pembelajaran hibrida adalah sebuah pola pembelajaran yang mengombinasikan
pertemuan tatap muka dengan pembelajaran berbasis online, teknologi hadir dalam
proses belajar. Tujuan utamanya untuk keperluan memperluas kesempatan belajar,
meningkatkan kualitas proses belajar, menumbuhkan kesempatan yang sama
antarpeserta didik, dan berbagai kemungkinan lainnya. Melalui pola pembelajaran
hibrida yang memanfaatkan perangkat komputer atau pun smartphone yang
terkoneksi pada jaringan internet memberikan peluang seluas-luasnya bagi guru
dan siswa untuk melakukan aktivitas belajar sambil melakukan aktivitas lain,
termasuk rekreatif secara bersama-sama. Atau inilah yang disebut pembelajaran
multitasking.
Kehadiran e-learning guru abad 21 juga dituntut untuk
kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan media baru (new media) untuk
pembelajaran berbasis web. Oleh karena itu guru perlu mempunyai kompetensi
untuk menerapkan mutltimedia. Kalau toh tidak membuat aplikasi sendiri, tetapi
setidaknya bisa memanfaatkan dan menerapkan multimedia bagi pembelajaran.
Demikian pula dengan gamifiication atau pembelajaran berbasis pada
permainan yang sekarang semakin diminati oleh siswa, adalah peluang yang perlu
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Berbagai bidang studi
yang selama ini dirasa sulit oleh siswa, seperti matematika, fisika, dan kimia
misalnya, terbukti dapat menjadi pembelajaran yang menyenangkan melalui kreasi
pembelajaran berbasis permainan. Dengan demikian, guru abad 21 juga perlu
memiliki kemampuan perancangan pembelajaran berbasis permainan, sehingga proses
belajar menjadi mudah dan menyenangkan, sekalipun itu pada bidang studi yang
selama ini dianggap rumit dan membosankan.
Kelima, karakteristik
guru abad 21 di tengah pesatnya perkembangan era teknologi digital,
bagaimanapun harus mampu melakukan transformasi kultural. Karena itu
transformasi mengandaikan terjadi proses pergantian dan perubahan dari sesuai
yang dianggap lama menjadi sesuatu yang baru. Atau paling tidak mengalami
penyesuaian terhadap kehadiran yang baru. Jika dipandang dari perspektif
kritis, konsep transformasi seperti itu segera akan mengundang kecurigaan bahwa
konsep transformasi mau tidak mau akan berbau positivistik. Ketika asumsi
linearistik yang menjadi karakter utama positivistik, pastilah mengandaikan
bahwa yang lama akan dipandang sebagai sesuatu yang tertinggal, atau paling
tidak sedikit muatan kemajuannya (Wahyono, 2011).
Selanjutnya Wahyono menjelaskan bahwa ketika transformasi
digunakan untuk menjelaskan konsep transformasi budaya, maka mengandaikan
terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis dalam aktivitas
kebudayaan. Setidaknya terdapat proses penyesuaian dari nilai, sikap, dan
praksis budaya lama menuju budaya baru. Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menggunakan konstruksi budaya berbasis pada nilai budaya Barat, maka mau
tidak mau nilai budaya lama masyarakat pengadopsinya harus melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Salah satu nilai yang imperatif dituntut oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi adalah apresiasi tinggi terhadap logika kausalitas,
akurasi, presisi, detail, dan terukur. Di samping itu tentu saja penghargaan
terhadap prinsip kejujuran, disiplin, dan kerja keras yang merupakan etos
masyarakat Barat dan negara maju lainnya di kawasan Asia. Oleh karena itu tesis
yang ditawarkan adalah, jika masyarakat, taruhlah yang masih mengikuti prinsip
tradisionalisme, ingin menjadi masyarakat modern berbasis pada ilmu pengetahuan
dan teknologi, maka perlu melakukan transformasi kultural. Transformasi di sini
mengandaikan terjadinya proses alih ubah nilai, sikap, dan praksis lama menuju
yang baru. Transformasi kultural, bila diterapkan dalam kaitannya dengan
perkembangan model pembelajaran hibrida, maka konsep transformasi kultural
tentu mengandaikan proses alih ubah dari nilai tradisional ke nilai
pembelajaran modern. Secara umum sudah berkembang persepsi bahwa model
pembelajaran yang lebih lazim digunakan adalah berat pada karakter berorientasi
pada guru (teacher center) daripada berorientasi pada peserta didik
(student center). Oleh karena pembelajaran online masuk kategori belajar
berbasis media baru (new
media) maka mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan partisipatif dalam proses komunikasinya, maka student-center lebih sesuai dengan prinsip pembelajaran online. Dengan demikian diperlukan adanya transformasi kultural dari model pembelajaran yang berprinsip searah, top-down, dan memposisikan peserta didik sebagai pihak pasif, ke arah model pembelajaran konstruktivistik yang berorientasi pada peserta didik. Pandangan bahwa guru adalah sumber pengetahuan dan rujukan utama pengetahuan, perlu diubah ke arah pandangan bahwa sumber pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada prinsipnya dapat menjadi sumber rujukan, tidak terkecuali peserta didik. Atau setidaknya murid adalah pihak yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan. Begitulah, guru dalam pembelajaran abad 21 dituntut mengenali dan menguasai pembelajaran berbasis TIK.
media) maka mengedepankan egalitarianism, kesetaraan, emansipatif, dan partisipatif dalam proses komunikasinya, maka student-center lebih sesuai dengan prinsip pembelajaran online. Dengan demikian diperlukan adanya transformasi kultural dari model pembelajaran yang berprinsip searah, top-down, dan memposisikan peserta didik sebagai pihak pasif, ke arah model pembelajaran konstruktivistik yang berorientasi pada peserta didik. Pandangan bahwa guru adalah sumber pengetahuan dan rujukan utama pengetahuan, perlu diubah ke arah pandangan bahwa sumber pengetahuan bersifat menyebar. Semua pada prinsipnya dapat menjadi sumber rujukan, tidak terkecuali peserta didik. Atau setidaknya murid adalah pihak yang aktif mengkonstruksi dan memaknai pesan. Begitulah, guru dalam pembelajaran abad 21 dituntut mengenali dan menguasai pembelajaran berbasis TIK.
Jenjang kompetensi TIK yang sebaiknya dimiliki oleh seorang
pengajar atau guru untuk menerapkan model e-learning meliputi lima tahapan.
Upaya dini yang harus dilakukan oleh pegelola sekolah adalah menyiapkan SDM
guru yang melek TIK (ICT literate). Ciri-ciri utama seorang guru yang melek TIK
ialah guru yang menggunakan TIK secara tepat, berdasarkan kebutuhan belajar,
kompetensi, karakteristik isi atau mata ajar, ketersediaan sarana. Selanjutnya
ia mampu mensinergikan kompetensi ini dalam penyajian di kelas konvensional,
yaitu bersama dengan peserta didik menggunakan TIK untuk proses belajar dan
mengajar. Adapun guru yang mahir meggunakan TIK dapat menjadi guru TIK, yaitu
menularkan perilaku positif dan mengintegrasikannya dalam materi ajar TIK serta
menumbuhkan kesadaran dalam berinternet sehat, misalnya ia dapat menjelaskan bagaimana
mengakses jejaring sosial sekaligus memanfaatkannya untuk diskusi suatu mata
ajar tertentu (Salma, 2016: 4). Oleh karena itu, setelah guru memiliki
karakteristik yang sesuai dengan tuntutan abad 21 yang serba digital, maka
seorang guru juga perlu mempunyai kompetensi di bidang perancangan atau
desainer pembelajaran. Disainer pembelajaran menjadi sosok yang harus lebih
banyak berperan dalam menyelenggarakan e-learning. Disainer pembelajaran adalah
ahli yang terbuka dan dinamis, mampu memecahkan masalah di tingkat trouble
shooting, di depan monitor, atau hingga menjadi problem solver dalam tatanan
menciptakan proses belajar maya yang “hidup”, interaktif, dan manusiawi (Salma,
2016: 5).
C. Karakteristik Siswa Abad 21
Bagaimana karakteristik siswa abad 21 dalam suatu proses
pembelajaran berbasis web? Semua sepakat bahwa siswa jaman sekarang atau yang
sedang populer disebut sebagai siswa zaman now, adalah berbeda dengan
karakteristik siswa jaman dulu. Jika dahulu siswa praktis hanya memiliki
peluang belajar pada lembaga sekolah, tetapi sekarang sumber belajar ada di
mana-mana dan bahkan terbawa ke mana-mana. Melalui smartphone berbasis android
misalnya, siswa jaman sekarang bisa dengan mudah belajar sesuai dengan yang
diinginkan. Sebuah mesin pencari yang begitu populer, yaitu google, siswa
sekarang bisa mendapatkan berbagai informasi pembelajaran sesuai dengan
kebutuhan. Sudah tidak diragukan lagi, bahwa perilaku belajar siswa sekarang,
sangat bergantung atau bahkan mengga ntungkan diri pada mesin pencari google
itu.
Jika ada pertanyaan keahlian apa yang diperlukan oleh siswa
pada era abad 21? Menurut Bernie Trilling dan Charles Fadel (2009), dalam
bukunya berjudul 21st Century Skills: Learning for Life in Our
Times, mengidentifikasi ada beberapa
kecakapan yang harus dimiliki oleh generasi abad 21 mencakup nilai dan perilaku
seperti rasa keingintahuan tinggi, kepercayaan diri, dan keberanian.
Keterampilan dan kecakapan abad 21 mencakup tiga kategori utama, yaitu:
1.
Keterampilan
belajar dan inovasi: berpikir kritis dan pemecahan masalah dalam komunikasi dan kreativitas kolaboratif dan inovatif.
2.
Keahlian
literasi digital: literasi media baru dan literasi ICT.
3.
Kecakapan
hidup dan karir: memiliki kemamuan inisiatif yang fleksibel dan inisiatif
adaptif, dan kecakapan diri secara sosial dalam interaksi antarbudaya,
kecakapan kepemimpinan produktif dan akuntabel, serta bertanggungjawab.
Dalam abad 21 menuntut karakteristik siswa yang memiliki
keterampilan belajar dan inovasi, yaitu yang berkait dengan kemampuan berpikir
kritis. Kemampuan ini menuntut kebebasan berpikir dalam suatu proses
pembelajaran. Faktanya, dalam prosses belajar mengajar di lembaga sekolah
sekarang ini masih banyak siswa kesulitan bertanya, dan bahkan takut bertanya.
Terdapat beberapa penyebab mengapa siswa kurang memiliki kemampuan bertanya,
karena selama ini lebih banyak pendekatan pembelajaran berpusat pada guru (teacher
center). Memang tidak mudah menghilangkan kendala kultural ini, karena
masih berkembangnya persepsi bahwa guru adalah pusat sumber belajar utama, dan
guru harus serba tahu.
Akan tetapi dalam abad 21, pendekatan seperti itu sudah
tidak cocok lagi jika memang ingin membentuk karakteristik siswa yang memiliki
kemampuan berpikir kritis. Pendekatan pembelajaran berpusat pada siswa (student
center) sebagaimana yang dianjurkan selama ini adalah suatu keharusan. Murid
harus dipandang sebagai subyek aktif yang memiliki daya seleksi dan daya
interpretasi, serta daya kreasi tinggi terhadap topic apa yang diangkat dalam
suatu proses pembelajaran. Pendekatan ini bukan berprinsip benar atau salah,
tetapi prinsipnya bagaimana mengembangkan kemampuan bernalar dan berargumentasi
siswa. Oleh karena itu penerapan model pembelajaran konstruktivistik seperti
pembelajaran kooperatif, metode diskusi, curah pendapat, dan debat perlu
diintensifkan, sehingga melatih siswa memiliki kemampuan bertanya dan tidak
takut bertanya dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan
pemecahan masalah.
Dalam era berkemajuan seperti sekarang ini, maka siswa
harus memiliki karakter kreatif dan inovatif. Ketika sekarang dunia menyodorkan
peluang untuk mengembangkan industry kreatif berbasis digital, maka siswa perlu
mengembangkan diri kemampuan kreatif dan inovatif. Era industry kreatif
menuntut berbagai produk yang utamanya dihasilkan oleh pikiran atau ide-ide
kreatif, bukan keterampilan fisik. Fakta juga sudah menunjukkan bahw generasi
muda sekarang yang bergerak pada industry kreatif semakin banyak, dan industri
daring ini sekarang telah menjadi tumpuan harapan Indonesia di masa depan.
Abad 21 menuntut siswa memiliki keahlian literasi digital
atau literasi media baru dan literasi ICT. Secara keseluruhan, jika
dibandingkan dengan guru, literasi digital boleh dibilang lebih tinggi di
kalangan siswa. Argumen ini berangkat dari logika berpikir sekuensial, bahwa
generasi belakangan pasti lebih cepat dalam menerima kehadiran teknologi baru.
Sekarang dikenal apa yang disebut sebagai generasi digital imigran dan digital
natif. Generasi digital imigran adalah generasi tua, termasuk sebagian besar
guru di Indonesia. Sementara itu generasi digital natif adalah mereka yang
sejak usia dini sudah terbiasa dengan media digital dalam aktivitas
sehari-hari, mulai dari aktivitas bermain, belajar, dan kegiatan apa pun yang
relevan. Siswa generasi digital natif ini dapat dikatakan sudah relatif
memiliki tingkat literasi digital cukup tinggi.
Literasi ICT jika mengacu pada pengertian PBB cukup luas
cakupannya. ICT berarti meliputi juga media lama seperti radio dan televisi,
jadi bukan saja media baru seperti gawai atau telepon genggam yang berbasis
android terkoneksi jaringan internet. Oleh karena itu siswa pada abad 21 adalah
mereka yang memiliki kemampuan mengenali, menggunakan secara teknis, dan
memanfaatkan pada aktivitas pembelajaran. Penggunaan televisi sebagai media
pembelajaran instruksional misalnya, juga merupakan kemampuan literasi ICT,
karena itu siswa bisa juga terlibat dalam pembelajaran audiovisual. Lebih dari
itu, sekarang yang sedang tren adalah bahwa siswa terlibat secara intensif
dalam proses pembelajaran web, termasuk juga penggunaan multimedia interaktif.
Karakteristik siswa abad 21 berkaitan dengan kecakapan
hidup yang bukan saja sekadar pasif menerima begitu saja keadaan. Akan tetapi
perlu senantiasa mengambil insiatif dalam berbagai aktivitas pembelajaran,
sehingga terus adaptif dengan terhadap perkembang teknologi baru yang semakin
canggih. Temuan teknologi infomarsi dalam bidang pendidikan terus terjadi
secara susul-menyusul dalam rentang waktu yang semakin cepat jarak intervalnya.
Karena itu, berbagai aplikasi pembelajaran dalam elearning misalnya, terus
menawarkan temuan baru dalam jarak yang relatif pendek, sehingga siswa diterpa
oleh kehadiran inovasi pendidikan melalui temuan aplikasi baru. Dalam pada itu jika
siswa tidak memiliki kemampuan adaptif terhadap inovasi teknologi digital ini,
maka akan semakin tertinggal dan akibatnya kurang memiliki akses untuk masuk
dalam dunia masyarakat siber.
Siswa abad 21 juga dituntut memiliki karakter kecakapan
sosial dalam interaksi antarbudaya dan antarbangsa, karena dunia semakin
mengglobal dan menjadi satu kesatuan. Jika ingin mengembangkan berbagai
pengetahuan dan keterampilan, serta keahlian yang sesuai dengan minatnya, siswa
bisa berbagi (sharing) dengan berbagai siswa di seluruh dunia. Dunia siber
telah memberikan fasilitas memadai untuk bisa berkomunikasi kepada siapa pun
melalui internet atau pun media sosial ke seluruh dunia. Karena itu belajar
dalam ruang virtual memungkinkan untuk berbagi ilmu pengetahuan dan keahlian
sesuai dengan minat dan bakatnya.
Dalam pada itu, siswa pada era digital juga dituntut untuk
memiliki kemampuan bekerjasama secara tim, bukan saja antarsiswa di lingkungan
kelasnya, tetapi bisa menembus batas ruang dan waktu, ke dunia siber antarsiswa
di seluruh dunia. Kerjasama dalam ini konteks ini menuntut kemampuan kreatif
dan daya inovatif agar apa yang dimiliki siswa memang memiliki daya tawar
tinggi sehingga menarik perhatian. Misalnya pengetahuan dalam bidang robotik,
budidaya tanaman, dunia permainan, dan temuan kreatif lain yang berguna bagi
pemecahan masalah, adalah hal-hal yang menarik perhatian generasi digital natif
dewasa ini.
Akhirnya, siswa pada abad 21 juga perlu memiliki kecakapan
dalam bidang kepemimpinan produktif dan akuntabel. Artinya apa yang ditawarkan
dalam bidang keahlian masing-masing harus benar-benar bisa dievaluasi secara
fair, sehingga teruji. Ini enting untuk mencari kepercayaan dalam komunikasi
antarbangsa antarkultur di dalam dunia virtual. Oleh karena itu kepemimpinan
produktif memang harus disertai sikap tanggung jawab terhadap apa yang telah
diputuskan secara bersama tentang berbagai hal yang berkaitan dengan
kreativitas dan inovasi.
Begitulah, berbagai karakteristik yang dituntut dalam era
digital, yang semuanya memang harus dilandasi oleh sikap keingintahuan tinggi
dan kehendak untuk maju dan progresif. Di atas itu semua, dalam era digital
dalam masyarakat jejaring sekarang ini adalah kemampuan belajar mandiri. Jadi
siswa zaman now mau tidak mau harus memiliki kemampuan belajar mandiri, karena
media baru telah menyediakan berbagai informasi yang begitu melimpah. Jika
sudah memiliki kemampuan belajar mandiri, maka pemanfaatan fasilitas belajar
berbasis web yang bersifat serba digital.
ConversionConversion EmoticonEmoticon