URAIAN MATERI
Sebelum bapak/ibu mempelajari lebih
lanjut materi tentang teori behavioristik, ada baiknya bapak/ibu berfikir ulang
apa yang dimaksud dengan ”BELAJAR” istilah ini bukanlah istilah baru, hampir
setiap hari bapak/ibu menggunakan istilah belajar.
Namun apa itu belajar?
1.
Pengertian
Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut
teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari
adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar
merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk
bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan
perubahan tingkah lakunya. Sebagai contoh, siswa belum dapat berhitung
perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat dan gurunya sudah mengajarkan dengan
tekun, namun jika anak tersebut belum dapat mempraktekkan perhitungan
perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia belum dapat menunjukkan
perubahan perilaku sebagai hasil belajar.
Menurut
teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yang berupa stimulus dan
keluaran atau output yang berupa respons. Menurut bapak/ibu, apa yang dimaksud
stimulus dan respon dalam proses pembelajaran?
STIMULUS adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya
daftar perkalian, alat peraga, pedoman kerja, atau cara-cara tertentu, untuk
membantu belajar siswa, sedangkan RESPON adalah reaksi atau tanggapan siswa
terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
Menurut
teori behavioristik, apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap
tidak penting diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur.
Yang dapat diamati hanyalah stimulus dan respons. Oleh sebab itu, apa saja yang
diberikan guru (stimulus), dan apa saja yang dihasilkan siswa (respons),
semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat
terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor
lain yang juga dianggap penting oleh aliran behaviotistik adalah faktor
penguatan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat
timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu juga bila penguatan dikurangi (negative
reinforcement) responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya, ketika siswa diberi tugas
oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka ia akan semakin giat belajarnya.
Maka penambahan tugas tersebut merupakan penguatan positif (positive
reinforcement) dalam belajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan ini
justru meningkatkan aktivitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan
penguatan negatif (negative reinforcement) dalam belajar. Jadi penguatan
merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan (ditambahkan) atau
dihilangkan (dikurangi) untuk memungkinkan terjadinya respons.
Tokoh-tokoh
aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skiner. Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju
dengan pengertian belajar di atas, namun ada beberapa perbedaan pendapat di
antara mereka.
1.
Teori
Belajar Menurut Edward Lee Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap
melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan siswa
ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike
perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit
yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun
ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku
yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan
pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori
Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
2.
Teori
Belajar Menurut Watson (1878-1958)
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang
sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus
dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah
laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain,
walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang
selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang
tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental
dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah
seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang
belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati
dan dapat diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah maka akan
dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah seseorang
melakukan tindak belajar. Pemikiran Watson (Collin, dkk: 2012) dapat
digambarkan sebagai berikut:
Para tokoh aliran behavioristik cenderung untuk tidak memperhatikan
hal-hal yangtidak dapat diukur dan tidak dapat diamati, seperti
perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar, walaupun demikian
mereka tetap mengakui hal itu penting.
3.
Teori
Belajar Menurut Clark Leaonard Hull (1884-1952)
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan
respon untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh
oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti
halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk
menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa
kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati
posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam
belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon
yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya,
teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama
setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering
dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
4.
Teori
Belajar Menurut Edwin Ray Guthrie (1886-1959)
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel
hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun
ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau
pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull.
Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya
bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar siswa perlu sesering
mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat
lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat
dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan
dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment)
memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat
yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah
Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant)
dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
5.
Teori
Belajar Menurut Burrhusm Frederic Skinner (1904-1990)
Skinner merupakan tokoh behavioristik yang paling banyak
dipebincangkan, konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar
mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat
menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif.
Pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang
akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon
yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau
menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah
laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara
stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan
dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon
tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan
perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya
akan menambah rumitnya masalah. Sebab, setiap alat yang digunakan perlu
penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Pandangan teori belajar behavioristik ini cukup lama dianut oleh
para guru dan pendidik. Namun dari semua pendukung teori ini, teori Skinerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Programprogram pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus–respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan
teori belajar yang dikemukakan oleh Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena sering kali tidak mampu
menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variable atau hal-hal
yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang tidak dapat diubah
menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Contohnya, seorang siswa akan
dapat belajar dengan baik setelah diberi stimulus tertentu. Tetapi setelah
diberi stimulus lagi yang sama bahkan lebih baik, ternyata siswa tersebut tidak
mau belajar lagi. Di sinilah persoalannya, ternyata teori behavioristik tidak
mampu menjelaskan alasanalasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan
respon ini. Namun teori behavioristik dapat mengganti stimulus satu dengan
stimulus lainnya dan seterusnya sampai respon yang diinginkan muncul. Namun
demikian, persoalannya adalah bahwa teori behavioristik tidak dapat menjawab
hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan
dengan responnya.
Sebagai contoh, motivasi sangat berpengaruh dalam proses belajar.
Pandangan behavioristik menjelaskan bahwa banyak siswa termotivasi pada
kegiatan-kegiatan di luar kelas (bermain video-game, berlatih atletik), tetapi
tidak termotivasi mengerjakan tugas-tugas sekolah. Siswa tersebut mendapatkan
pengalaman penguatan yang kuat pada kegiatan-kegiatan di luar pelajaran, tetapi
tidak mendapatkan penguatan dalam kegiatan belajar di kelas. Pandangan
behavioristik tidak sempurna, kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat
emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.
Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang
mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata
perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat
berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya
pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati
tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir
linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa
belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju
atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan siswa untuk tidak bebas
berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh dalam hidup
ini yang mempengaruhi proses belajar. Jadi pengertian belajar tidak sesederhana
yang dilukiskan oleh teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang
tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan belajar. Namun apa yang
mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung
membatasi siswa untuk bebas berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses
belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan
Guthrie, yaitu;
1)
Pengaruh
hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2)
Dampak
psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3)
Hukuman
mendorong si terhukum mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia
terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari pada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat
negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak
pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan
muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai
stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya,
seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika
sesuatu yang tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan)
dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk
memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguat negatif. Lawan dari
penguat negatif adalah penguat positif (positive reinforcement). Keduanya
bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat positif
itu ditambah, sedangkan penguat negatif adalah dikurangi agar memperkuat
respons.
2.
Aplikasi
Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan
praktek pendidikkan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik.
Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil
belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulusresponnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respons atau
perilaku tertentu dapat dibentuk karena dikondisi dengan cara tertentu dengan
menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan
semakin kuat bila diberikan reinforcement, dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah
seperti hubungan stimulus-respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai
hasil belajar yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan
kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan
unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga
sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan
jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat paling dini, seperti
Kelompok bermain, Taman Kanak-kanak, Sekolah-Dasar, Sekolah Menengah, bahkan
sampai di Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan)
disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti; tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
dilaksanakan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau siswa. Siswa
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang
diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus
dipahami oleh murid.
Fungsi
mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut.
Karena
teori behavioristik memandang bahwa sebagai sesuatu yang ada di dunia nyata
telah tersetruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus
dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan lebih dulu secara
ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga
pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan
yang perlu dihukum, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai
bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau siswa adalah obyek
yang harus berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus
dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk
laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampilan yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian
ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Thorndike (Schunk, 2012) kemudian merumuskan peran yang harus
dilakukan guru dalam proses pembelajaran, yaitu:
1.
Membentuk
kebiasaan siswa. Jangan berharap kebiasaan itu akan terbentuk dengan sendirinya
2.
Berhati
hati jangan smpai membentuk kebiasaan yang nantinya harus diubah. Karena
mengubah kebiasaan yang telah terbentuk adalah hal yang sangat sulit.
3.
Jangan
membentuk dua atau lebih kebiasaan, jika satu kebiasaan saja sudah cukup
4.
Bentuklah
kebiasaan dengan cara yang sesuai dengan bagaimana kebiasaan itu akan
digunakan.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan
paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut satu jawaban benar.
Maksudnya, bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal
ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi
belajar dipandang sebagai bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan
biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan siswa secara individual.
Salah
satu contoh pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran terprogram
(PI/Programmed Instruction), dimana pembelajaran terprogram ini merupakan
pengembangan dari prinsip-prinsip pembelajaran Operant conditioning yang di
bawa oleh Skinner. Dalam Schunk (2012) PI melibatkan beberapa prinsip
pembelajaran. Dalam pembelajaran terprogram, materi dibagi menjadi frame-frame
secara berurutan yang setiap frame memberikan informasi dalam potongan kecil
dan dilengkapi dengan test yang akan direspon oleh siswa.
Pada
jaman modern ini, aplikasi teori behavioristik berkembang pada pembelajaran
dengan powerpoint dan multimedia. Dalam pembelajaran dengan powerpoint,
pembelajaran cenderung terjadi satu arah. Materi disampaikan dalam bentuk
powerpoint yang telah disusun secara rinci. Sementara itu pada pembelajaran
dengan multimedia, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama dengan
pengembang, materi disusun dengan perencanaan yang rinci dan ketat dengan
urutan yang jelas, latihan yang diberikan pun cenderung memiliki satu jawaban
benar. Feedback pada pembelajaran dengan multimedia cenderung diberikan sebagai
penguatan dalam setiap soal, hal ini serupa dengan program pembelajaran yang
pernah dikembangkan Skinner (Collin, 2012), dimana Skinner mengembangkan model
pembelajaran yang disebut “teaching machine” yang memberikan feedback kepada
siswa bila memberikan jawaban benar dalam setiap tahapan dari pertanyaan test,
bukan sekedar feedback pada akhir test.
RANGKUMAN
Teori
belajar behavioristik masih dirasakan manfaatnya dalam kegiatan pembelajaran.
Selain teori ini telah mampu memberikan sumbangan atau motivasi bagi lahirnya
teori-teori belajar yang baru, juga karena prinsip-prinsipnya (walaupun
terbatas) terasa masih dapat diaplikasikan secara praktis dalam pembelajaran
hingga kini. Walaupun teori ini mulai mendapatkan kritikan, namun dalam hal-hal
tertentu masih diperlukan khususnya dalam mempelajari aspek-aspek yang sifatnya
relatif permanen dengan tujuan belajar yang telah dirumuskan secara ketat.
Secara
ringkas, teori behavioristik mengatakan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia telah mampu menunjukkan
perubahan tingkah laku. Pandangan behavioristik mengakui pentingnya masukan
atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.
Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respons dianggap tidak
penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati dan diukur. Yang bisa diamati dan
diukur hanyalah stimulus dan respons.
Penguatan
(reinforcement) adalah faktor penting dalam belajar. Penguatan adalah apa saja
yang dapat memperkuat timbulnya respons. Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respons akan semakin kuat. Demikian juga jika penguatan
dikurangi (negative reinforcement) maka respons juga akan menguat. Tokoh-tokoh
penting teori behavioristik antara lain Thorndike, Watson, Skiner, Hull dan
Guthrie.
Aplikasi
teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai
aktifitas “mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan
yang sudah dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari
bagian-bagian ke keseluruhan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil,
dan evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban yang benar menunjukkan bahwa
siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya
ConversionConversion EmoticonEmoticon