GILA MASUK SURGA

GILA MASUK SURGA

Tawa yang keras terdengar seperti suara salah satu jenis primate di kebun binatang itu menggema saat kumasuki asrama yang baru kuhuni tiga hari itu, mereka terbahak mendengar cerita lucu salah seorang santri yang berlogat timur karena tertarik, aku duduk menghambur bersama mereka. Orang yang ditengah terus saja bicara

“kalo makan kerupuk ini, nanti kau punya otot langsung kuat!” ia meneriaki salah satu anak disampingnya dengan logat timurnya yang membuatku ikut tertawa. “bener! Sudah mau tiga tahun saya disini tapi kelas satu terus. Buktinya saya masih kuat to!”

Hahahaha

Ia memeang menjadi pusat perhatianku sejak pertama masuk di ponpes al hikmah gunungkidul. Ia menunjukkan dimana kantor penerimaan santri baru padaku dan ayah waktu itu, sebulan sebelum hari perama masuk. Aku tak menyadari betul keberadaannya ketika aku dan ayah duduk menunggu satpam diposnya. Saat itu ia membaca Koran didepan kelas. Kukira ia bukan termasuk santri .berbeda dari yang kudengar di khalayak ramai tentang santri dan sifat-sifatnya. Sesekali ia menoleh kesamping terlihat potongan gaya uppercut yang bagian atasnya tidak tebal dan dijambul rapi dengan pomade yang berkilat terkena sinar matahari. Saat ia menyadari keberadaan kami langsung saja dia turun menghentakkan sepatu vans yang terlihat pas dengan celana zaraman yang dikenakannya , menghampiri dengan sopan. Baru kusadari status santrinya dilihat dari depan, bajunya bercorak muslim menjuntai vertical membentuk badannya yang tinggi dan rmping.

“Assalamu’alaikum” sapanya “mau cari siapa pak”

“Waalaikumussalam, kantornya disebelah mana ya mas?” Tanya ayahku

Dengan segera, ia menghantar kami mendaftar. Namun sayangnya aku tak sempat berkenalan labih dahulu denganya.

“Asnan!” suaranya lantang terdengar hingga keluar asrama. Tak salah lagi itu pasti Rian yang memenggilku. Memang saja aku sedang ingin masuk ke asrama

“apa yan?” tnayaku sambil melepas sandal sebelum melewati pintu.

“sini, kita makan sudah!”

Terlihat beberapa anak melingkar pada sebuah nampan yang berisi nasi dan sayur terong. Langsung saja aku masuk dan bergabung bersama mereka.

Sayur terong terasa sangat sedap apalagi jika diolah dengan balado special bikinan santri putri. Dan factor terpenting yang mempengaruhi kenikmatan ini adalah kebersamaan. Suasana itu selalu menjadi memori yang terus melekat. Membuat hati rindu bila berada jauh dari teman-teman.

“Asnan!” kau ambil lagi nasinya!” katanya padaku setelah taka da lagi yang tersisa dinampan “sama lauknya sekalian, ya!”.

“yo’I” sederhana saja kuturuti pintanya. Lagipula aku juga masih lapar memang.

Salah seorang menemaniku beralan turun kedapur membawa nampan . tak habis piker juga , aku tak terbiasa disuruh suruh seperti ini kecuali oleh orang tua, dan guruku tentunya.

“mau kemana dik?” salah seorang ustad menegurku dari blakang sebelum kesadari kehadirannya

“mau ambil nasi tad” jawab temanku

“kayakknya kamu tadi udah ngambil to.?”

“iya tad” ia terbata saat menjawabnya

“oh! Ya berarti jatah kalian udah habis.” Ustad tua dengan songkok putih itu mulai mencermahi kami berdua, dan kami kembali keasrama dengan nampan kosong.

Bla…bla…bla…

Kebun binatang dan semua anggota badan keluar dari ujung lidahnya, melihat nasi yang tak sampai.

“dasar ustad tua!” umpatnya “kau ambil aja semua nasi itu! Kau makan semua! Biar jadi busuk itu nanti”

Bukan terkejut, aku hanya nyegir dan geleng geleng melihat tingkahnya, ia marah seperti dibuat-buat. Hingga Nampak geli aku melihatnya

Suasana kembali tenang saat ia sibuk dengan rambutnya. Hanya sesaat setelah itu. Ia kembali dengan kicauannya

“ayo kita turun sudah” katanya

Berlima, termasuk aku diantaranya, berjalan menuju dapur, mencari nasi semoga masih tersisa. Tampaknya ustad yang tadi menegurku tak berani berucap ketika melihat gerombolan santri yang dipimpin rian menuju dapur.

Penuh debu dan arang. Bau busuk tercium samar disana sini, menghiasi ruang masak yang sempit dan pengap. Derlihat sekali wajah kecewa Rian saat melihat soblok nasi sudah kosong dan lagi lagi ia mulai dengan tingkah absurdnya itu.

Satu minggu dua minggu, lama lama aku kesal juga tinggal satu asrama dengan orang satu ini. Suaranya yang tinggi menggertak membuat kepalaku pening. Ocehannya ngawur kesana sini, tak jelas dengan apa yang ia bicarakan, entah apa yang ada dalam pikirannya. Sifatku yang halus memang tidak cocok dengan wataknya yang kasar

Rabu sore, adalah hari paling menyenangkan di pesantren. Selain cuaca yang cerah dan hangat, bau wangi pohon munggur yang merindangi lapangan futsal memberi kesejukan tersendiri untukku. Dimana rabu sore adalah jadwal futsal yang rutin dilakukan anggota futsal al hikmah fc. Memang, aku tidak bisa bermain bola sepak tersebt. Akan tetapi aku suka sekali melihat pemain pemain meliuk liuk menggiring-giring, dan mengoper bola. Saling berebut untuk mencetak angka. Antusiasku terbayar lunas saat rian ikut berada bersama mereka. Konon katanya, ia adalah pemain futsal terbaik meliputi seluruh ponpes di gunungkidul. Lincah gesit dan akurat menjadi ancaman menakutkan untuk team yang berani berhadapan dengan komodo NTT satu ini setidaknya itulah nama yang tertulis pada punggung kaos team Rian, dan seperti biasa, teriakan teriakan dan umpatan menjadikan lapangan futsal seperti pasar, atau terminal, bahkan mirip seperti medan perang, hanya karena suara satu orang.

Jam empat tepat, suara ribut tadi lenyap entah terbawa angin. Saat ustad Rahmat datang ikut bermain. Seringai jahat serigala diwajah Rian berubah seketika menjadi focus sefokus ahli bedah yang mengoperasi pasien mulut itu terkunci rapat. Spuluh, duapuluh menit tubuhnya berkilat oleh keringat yang membanjiri badannya hingga bajunya basah. Debu beterbangan membuat rambut licin Rian berubah kumal seperti  keset yang terbuat dari sabut kelapa. Jika kucermati lagi, ada sisi baik yang tertanam di hati Rian itu seperti sebongkah emas yang tertimbun kotoran hingga mongering mengerak. Sekali lagi, silaunya yang memencar, menarik perhatianku. Melupakan sejenak watak beringas yang tampak di permukaan.

Lampu-lampu jalan masih benderang ketika sebagian besar warga kota sudah tertidur. Itu busa dilihat jika duduk diatas bak air pam di bukit belakang pesantren. Sebelumnya aku sengaja memesan kopi panas dan makanan ringan untuk menjadi taman ngobrol bersama Rian disana. Malam itu tak benar-benar sunyi, Rian mengeraskan suara musicbox dengan lagu DJ kesukaannya. Awalnya memang terganggu, tapi memang itulah sifatku yang menyukai ketenangan dan kucoba untuk menghargai sifat oran yang senang kebebesan.

“pernah pulang belum, yan?” tanyaku memandang mukanya yang mengangguk angguk menikmati music
“belum,” katanya, ia tetap datar mrmandang kota

“nggak kangen?”

“iya….. kangen mama saya, papa, adek, kakak, udah lama e, saya tak pulang.”

Aku diam sejenak, ingin kutanyakan apa yang ingin ia banggakan untuk mereka ketika pulang, Ah! Aku tak berani menyinggung perasaannya

Klik

Musicbox itu dimatikan, ia berbicara lagi dengan nada lebut yang belum pernah kudengar

“memang, saya kangen sekali pulang, tapi di kampong e, banyak maksiat, saya mau ibadahpun sulit, mau mengaji sulit……” ia keluhkan semua kesahnya yang mengganjal dalam dadanya.

Tak penah kusangka sebelumnya, seseorang yang terlihat atos dan liar memiliki sisi lain yang mulia, dari sini aku tau kemana arah kisahnya. Kisah Rian yang menghindari pergaulan di kampungnya. Ia mencoba berubah sedikit demi sedikit, terus bangkit setelah gagal dan gagal. Dan sekarang, akan kumulai membangun tekad aku ingin membantu ia mendalami agama. Aku tak akan menyerah sebelum ia berubah.

Karya : ASNAN NURUL HABIB ( XII IPS 2016/2017)

Previous
Next Post »